Kaitannya dengan pembahasan tawassul, ada yang
mesti dipahami yaitu tentang do’a-do’a yang dihukumi bid’ah. Tingkatannya
sebagai berikut sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah:
1- Berdo’a pada selain Allah, di mana yang ditujukan
do’a itu mati atau ghaib (tidak hadir), baik yang diminta adalah para Nabi,
orang shalih atau selain mereka. Misalnya ada yang berdo’a: “Wahai sayyid
fulan, selamatkanlah aku” atau “Wahai pak Kyai, aku meminta perlindungan pada-Mu”
atau “Wahai orang shalih, aku meminta pertolongan padamu” atau “Wahai fulan,
aku beristighotsah denganmu”. Yang lebih dari itu jika ia meminta “Wahai wali,
ampunilah aku dan terimalah taubatku”. Seperti ini dilakukan oleh orang-orang
musyrik yang tak punya dasar ilmu.
Yang lebih parah dari itu jika sampai sujud pada kubur
wali, shalat menghadap kuburnya, bahkan menganggap shalat menghadap kubur
tersebut lebih utama daripada shalat menghadap kiblat. Sampai-sampai disebut
adanya keyakinnan bahwa shalat menghadap kubur adalah menghadap kiblat yang
khusus, sedangkan shalat menghadap Ka’bah adalah kiblatnya orang-orang awam.
Lebih parah dari itu pula ada yang sampai menganggap
bersafar ke kubur wali sejenis haji sampai-sampai disebut bahwa bersafar
beberapa kali ke kubur tersebut sudah senilai dengan haji. Bahkan kalangan yang
ekstrim (kalangan ghullat) dari mereka menyatakan bahwa berziarah sekali
ke kubur wali fulan lebih utama dari beberapa kali berhaji.
Semua yang dicontohkan dalam bentuk pertama ini adalah
kesyirikan, walau kebanyakan orang melakukan sebagian ritual di atas.
2- Meminta pada para Nabi atau orang shalih yang telah
tiada (mayit) atau yang tidak hadir (ghaib) dengan berkata, “Berdo’alah pada
Allah untukku” atau “Berdo’alah pada Rabbmu untuk kami”. Perbuatan ini tidak
diragukan oleh orang yang paham bahwa hal itu tidak dibolehkan. Amalan tersebut
termasuk bid’ah yang tak pernah diajarkan oleh generasi terdahulu dari umat
ini.
Intinya, tidak boleh meminta pada mayit seperti itu
untuk menyampaikan do’a kita pada Allah atau mengadu tentang kesusahan dunia
dan akhirat pada Allah yang disampaikan lewat mayit, walau ketika ia hidup
dibolehkan. Saat orang shalih itu hidup, kita boleh meminta padanya untuk
berdo’a pada Allah untuk kebaikan kita. Itu saat ia hidup karena seperti itu
tidak mengantarkan pada kesyirikan. Namun saat ia telah tiada, berubah sebagai
perantara pada kesyirikan. Ketika dulu hidup, orang shalih itu adalah seorang mukallaf (dibebani
syari’at) dan bisa menjawab permintaan orang yang meminta. Kalau ia berdo’a
pada Allah untuk kebaikan yang meminta, maka akan berpahala. Sedangkan ketika
sudah tiada, maka ia bukan seorang mukallaf seperti tadi.
3- Meminta dengan hak atau kedudukan (jaah)
orang shalih, termasuk yang dilarang dan sudah disebutkan pendapat dari Abu
Hanifah, Abu Yusuf dan lainnya tentang masalah ini. Perbuatan semacam ini
tidaklah masyhur di kalangan para sahabat. Buktinya, para sahabat tidak berdo’a
dengan kedudukan (jaah) Nabinya yang mulia, namun kala sulit mereka bertawassul
dengan ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib yang masih hidup. (Diringkas dari Qo’idah
Jalilah fit Tawassul wal Wasilah, hal. 226-231)
Sumber: rumaysho.com