Kita mendengar cerita
tentang orang-orang saleh yang bermuamalah dengan Allah dengan cara yang benar,
cinta, dan kasih. Allah kemudian memperlakukan mereka sebagaimana mereka
bermuamalah dengan-Nya. Jiwa merekapun telah bening adanya.
Dizaman dahulu ada seorang
ahli ibadah yang memohon hujan kepada Allah dengan berdoa, “Ya Allah keadaan
macama apa ini? Aku sendiri tidak tahu apa yang harus ku perbuat. Berilah kami
hujan.” Seketika itu juga turunlah hujan mengguyur bumi. Dikalangan sahabat ada
Anas bin an-Nadhir yang berkata, “Demi Allah akan hancurlah gigi Rabi!”. Lalu
terjadilah apa yang dia sumpahkan. Saa itu Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
ada di antara hamba Allah yang dikabulkan sumpahnya jika ia bersumpah (dengan
nama Allah)”.
Mereka adalah golongan
manusia yang selalu baik muamalahnya dengan Allah dan Allah pun balas bersikap
lembut dan penuh kasih kepada mereka. Mereka berjalan sesuai dengan apa mereka
yakini.
Di pihak lain, ada golongan
manusia yang lebih tinggi dari mereka, namun jika mereka memohon tidak
dikabulkan. Meski tidak langsung dijawab permintaan mereka, mereka tetap ridha
kepada Allah. Tak terdengar protes dari mulut mereka; mereka terus dicekam rasa
khawatir; mereka menundukan kepada penuh kehati-hatian; mereka merasa tak
pantas melayangkan tuntutan kepada-Nya. Puncak harapan mereka adalah
pengampunan. Jika mereka memanjatkan doa dan permohonan namun tidak terlihat
juga jawabannya, mereka lantas mengoreksi diri mereka sendiri. Mereka berkata,”
Orang-orang seperti kami memang pantas untuk tidak dijawab” atau mungkin mereka
akan berkata,”Mungkin saja tidak dijawabnya doaku adalah demi kebaikanku juga.”
Mereka adalah sebaik-baik
manusia, sedangkan orang bodoh adalah yang beranggapan bahwa apa yang dimintanya
harus dijawab. Jika doanya tidak dipenuhi, batinya terasa sesak; mereka laksana
meminta upah dari pekerjaan mereka; sepertinya mereka merasa telah mendatangkan
manfaat kepada Sang Khaliq dengan ibadahnya.
Seorang hamba yang baik
adalah yang rela dengan apa yang diperbuat Sang Khaliq kepadanya. Jika mereka meminta kemudian
permintaannya dipenuhi, mereka menganggap itu adalah keutamaan Allah. Jika
tidak diterima, mereka sadar bahwa itu adalah tindakan Sang Maha Raja yang berbuat
menurut kehendak-Nya terhadap hamba. Dengan demikian, taka da dalam hatinya
satu hujatan pun kepada Tuhan.
Imam Ibnu Al-Jauzy dalam Shaidul
Khatir (dgn telah merevisi judul)