Saat Turun Hujan Waktu Mustajab Untuk Berdoa


Air Hujan salah satu nikmat yang banyak Allah sebutkan dalam Al-Qur'an. Memiliki Manfaat dan fungsi sangat banyak, tidak diketahui detailnya kecuali oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Allah mengabarkan, Dia menghidupkan bumi yang mati dan kering melalui guyuran hujan. Airnya menghidupkan bumi & menghijaukannya.

وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ

“Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan.” (QS. Al-Baqarah: 164)

Dengan sebab hujan, Allah menumbuhkan tanam-tanaman, sayur-mayur dan buah-buahan sebagai sumber makanan, “dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 21)

Maka air hujan yang turun dari langit ini adalah air penuh berkah. Yakni banyak mengandung kebaikan. Ia bisa menyucikan bumi dari kotorannya, membersihkan badan dari kotoran debu & najis. Ia adalah air suci secara dzat & menyucikan yang lain.

Kita lihat dalam Sunnah, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam sangat berharap banyak kebaikan pada hujan yang Allah turunkan. Beliu berdoa saat melihat hujan yang lebat,

اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

"Ya Allah, -jadikan hujan ini- hujan yang membawa manfaat -kebaikan-." (HR. Al-Buhari, dari hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha)

Dalam riwayat Muslim, dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha, “Dan apabila beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam melihat hujan, beliau membaca: RAHMAH (ini adalah rahmat). (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga pernah menyibakkan bajunya agar tubuh beliau terkena air hujan. Saat beliau ditanya tentangnya, beliau menjawab:

لِأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى

“Karena sesungguhnya hujan ini baru saja Allah Ta’āla ciptakan.” (HR. Muslim)
Hal ini, sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi, karena hujan adalah rahmah. Baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala, maka beliau meminta berkah melaluinya. Caranya dengan membasahi sebagian badan beliau dengan air berkah ini.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga mengajarkan agar memuji Allah 'Azza Wa Jalla, “Kami diberi hujan dengan karunia Allah dan rahmat-Nya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Selain itu, beliau juga mengajarkan agar berdoa kepada Allah & meminta kebaikan kepada-Nya saat turun hujan. Karena saat itu termasuk waktu yang mustajab. Maka dianjurkan bagi setiap muslim memperbanyak pada waktu tersebut.
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: 

اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ وَ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ وَنُزُوْلِ الْغَيْثِ

"Carilah pengabulan doa pada saat bertemunya dua pasukan, pada saat iqamah shalat, dan saat turun hujan." (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak: 2/114 dan dishahihkan olehnya. Lihat Majmu' fatawa: 7/129. Al-Albani menghassankannya dalam al-Silsilah al-Shahihah no. 1469 dan Shahih al-Jami' no. 1026).

Dalam Shahih al-Jami’ Al-Shaghir yang berstatus hasan, disebutkan redaksi yang lain, “Dua kondisi yang tidak akan ditolak doa; saat adzan dan dibawah guyuran hujan.”
Menurut al-Munawi, maksudnya adalah tidak ditolaknya doa di bawah guyuran hujan, atau jarang sekali ditolak. Karena saat itu adalah waktu turunnya rahmah. Wallahu Ta’ala A’lam.


http://www.voa-islam.com

Sore Hari Jum'at Adalah Salah Satu Waktu Mustajab Do’a


Pada hari Jum’ay yang mulia terdapat satu waktu yang mustajab untuk berdoa. Tidaklah seorang hamba yang beriman memunajatkan do'a kepada Rabbnya pada waktu itu, kecuali  Allah akan mengabulkannya selama tidak meminta yang haram.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radliyallah 'Anhu, dia bercerita: "Abu Qasim (Rasululah) Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

“Sesungguhnya pada hari Jum'at itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim berdiri berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya." Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, yang kami pahami, untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat).” (Muttafaq 'Alaih)

Terdapat dua pendapat besar di antara ulama tentang letak waktu tersebut. Pertama, sejak duduknya imam di atas mimbar sampai dengan berakhirnya shalat.

Kedua: waktu ijabah tersebut berada di akhir waktu di hari Jum’at, yakni setelah 'Ashar sampai Maghrib.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah merajihkan pendapat ini. Beliau berkata, "yang ini merupakan pendapat yang paling rajih dari dua pendapat yang ada. Ia adalah pendapat Abdullah bin Salam, Abu Hurairah, Imam Ahmad, dan beberapa ulama selain mereka." (Zaad al Ma'ad: I/390)

Hadits yang menunjukkan kesimpulan ini cukup banyak. Di antaranya hadits Jabir bin Abdillah Radliyallah 'Anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda:

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لَا يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

"Hari Jum'at terdiri dari 12 waktu, di dalamnya terdapat satu waktu yang tidaklah seorang muslim pada saat itu memohon sesuatu kepada Allah, melainkan Dia akan mengabulkan permintaannya. Oleh karena itu, carilah saat tersebut pada akhir waktu setelah 'Ashar." (HR. an Nasai dan Abu Dawud. Disahihkan oleh Ibnul Hajar dalam al Fath dan dishahihkan juga oleh al Albani dalam Shahih an Nasai dan Shahih Abu Dawud)

Hadits Abdullah bin Salam, dia bercerita: "Aku berkata, 'sesungguhnya kami mendapatkan di dalam Kitabullah bahwa pada hari Jum'at terdapat satu saat yang tidaklah seorang hamba mukmin bertepatan dengannya lalu berdoa memohon sesuatu kepada Allah, melainkan akan dipenuhi permintaannya.' Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengisyaratkan dengan tangannya bahwa itu hanya sebagian saat. Kemudian Abdullah bin Salam bertanya; 'kapan saat itu berlangsung?' beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, "saat itu berlangsung pada akhir waktu siang." Setelah itu  Abdullah bertanya lagi, 'bukankah saat itu bukan waktu shalat?' beliau menjawab,

بَلَى إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ

"Benar, sesungguhnya seorang hamba mukmin jika mengerjakan shalat kemudian duduk, tidak menahannya kecuali shalat, melainkan dia berada di dalam shalat." (HR. Ibnu Majah. Syaikh al Albani menilainya hasan shahih).

Juga berdasarkan hadits Anas bin Malik, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

الْتَمِسُوا السَّاعَةَ الَّتِي تُرْجَى فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ إِلَى غَيْبُوبَةِ الشَّمْسِ

"Carilah saat yang sangat diharapkan pada hari Jum'at, yaitu setelah 'Ashar sampai tenggelamnya matahari." (HR. at Tirmidzi; dinilai Hasan oleh al Albani di dalam Shahih at Tirmidzi dan Shahihh at Targhib).

Al-Hafidz Ibnul Hajar rahimahullah berkata: "diriwayatkan Sa'id bin Mansur dengan sanad shahih kepada Abu Salamah bin Abdirrahman, ada beberapa orang dari sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkumpul lalu saling menyebut satu saat yang terdapat pada hari Jum'at. Kemudian mereka berpisah tanpa berbeda pendapat bahwa saat tersebut berlangsung pada akhir waktu dari hari Jum'at." (Fath al-Baari :II/421 dan Zaad al-Ma'ad oleh Ibnul Qayim I:391)

Ibnul Qayyim berkata, "diriwayatkan Sa'id bin Jubair dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: 'saat (mustajab) yang disebutkan ada pada hari Jum'at itu terletak di antara shalat 'Ashar dan tenggelamnya matahari.' Sa'id bin Jubair jika sudah melaksanakan shalat 'Ashar dia tidak mengajak bicara seseorang pun hingga matahari terbenam. Demikian ini pendapat mayoritas ulama salaf, dan mayoritas hadits mengarah pada pendapat itu. Selanjutnya, pendapat lain menyatakan bahwa saat tersebut terdapat pada waktu shalat Jum'at. Adapun pendapat-pendapat lainnya tidak memiliki dalil." (Zaad al-Ma'ad: I/394)

Ibnul Qayyim juga mengatakan, "menurut saya, saat shalat merupakan waktu yang diharapkan pengabulan doa. Keduanya merupakan waktu pengabulan meskipun satu saat yang khusus itu di akhir waktu setelah shalat 'Ashar. Itu merupakan saat tertentu dari hari Jum'at yang tidak akan mundur atau maju. Adapun saat ijabah pada waktu shalat, ia mengikuti waktu shalat itu sendiri sehingga bisa maju atau mundur. Karena ketika berkumpulnya kaum muslimin, shalat, ketundukan, dan munajat mereka kepada Allah memiliki pengaruh terhadap pengabulan (doa). Dengan demikian, saat pertemuan mereka merupakan saat yang diharap dikabulkannya doa. Dengan demikian itu, seluruh hadits berpadu antara yang satu dengan lainnya. . ." (Zaad al Ma'ad: I/394)

Lebih lanjut, Ibnul Qayyim berkata, "saat mustajab berlangsung pada akhir waktu setelah 'Ashar yang diagungkan oleh seluruh pemeluk agama. Menurut Ahl Kitab, ia merupakan saat pengabulan. Inilah salah satu yang ingin mereka ganti dan merubahnya. Sebagian orang dari mereka yang telah beriman mengakui hal tersebut." (Zaad al-Ma'ad: I/396)

. . . saat mustajab berlangsung pada akhir waktu setelah 'Ashar yang diagungkan oleh seluruh pemeluk agama. . . (Ibnul Qayyim)

Pendapat ini juga yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh DR. Sa'id bin Ali al Qahthan dalam Shalatul Mukmin. Syaikh Ibnu Bazz berkata, "hal itu menunjukkan bahwa sudah sepantasnya bagi orang muslim untuk memberikan perhatian terhadap hari Jum'at. Sebab, di dalamnya terdapat satu saat yang tidaklah seorang muslim berdoa memohon sesuatu bertepatan dengan saat tersebut melainkan Allah akan mengabulkannya, yaitu setelah shalat 'Ashar. Mungkin saat ini berlangsung setelah duduknya imam di atas mimbar. Oleh karena itu, jika seseorang datang dan duduk setelah 'Ashar menunggu shalat Maghrib seraya berdoa, doanya akan dikabulkan. Demikian halnya jika setelah naiknya imam ke atas mimbar, seseorang berdoa dalam sujud dan duduknya maka sudah pasti doanya akan dikabulkan." (DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al Qahthani, Ensiklopedi Shalat menurut al Qur'an dan as Sunnah : II/349) Wallahu Ta'ala A'lam


Waktu Diantara Adzan dan Iqamah adalah Waktu Mustajab Untuk Berdoa


Waktu diantara adzan dan iqamah adalah merupakan waktu yang mustajab dan oleh karena itu dianjurkan untuk berdoa.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, “Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak” (HR. Tirmidzi)

Dan sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Anas, ia berkata, “ Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “ Doa tidak ditolak saat antara azan dan iqamah”. Lalu para sahabat bertanya‘ Apa yang kita ucapkan wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Mintalah kepada Allah keselamatan di dunia dan akhirat”.


Di kesempatan lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
Jika kalian mendengarkan muadzin mengumandangkan adzan, ucapkanlah apa yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah kepadaku. Karena setiap seseorang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Muslim, no. 384).

Jadi waktu jeda diantara Adzan dan Iqamah mari kita manfaatkan untuk berdoa dan bersalawat kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Doa Seorang Muslim Untuk Saudaranya Adalah Mustajab.



Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Kepada muslim yang mendoakan itu ada malaikat yang mendoakan baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata 'aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan.

Di antara orang-orang yang berbahagia dengan shalawat para Malaikat adalah orang yang dido’akan oleh saudaranya dari kejauhan, begitupula orang yang mendo’akannya. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dari Shafwan, ia adalah Ibnu ‘Abdillah bin Shafwan, dan umur ad-Darda' di bawahnya, beliau berkata: “Aku pergi ke Syam dan mendatangi Abud Darda’ Radhiyallahu anhu di rumahnya, tetapi beliau tidak ada di rumah, yang ada hanyalah Ummud Darda’ رَحِمَهَا اللهُ تَعَالَى, ia berkata: ‘Apakah tahun ini engkau akan pergi haji?’ ‘Ya,’ jawabku. Dia berkata: ‘Do’akan kami dengan kebaikan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: 


دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ. كُلَّمَا دَعَا ِلأَخِيْهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِيْنَ. وَلَكَ بِمِثْلٍ. 

‘Do’a seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dido’akannya [1] adalah do’a yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada Malaikat yang menjadi wakil baginya. Setiap kali dia berdo’a untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka Malaikat tersebut berkata: ‘Aamiin dan engkau pun mendapatkan apa yang ia dapatkan.’”

Dari hadits yang mulia ini kita bisa mengetahui bahwa ada dua golongan manusia yang mendapatkan do’a dari para Malaikat, mereka itu adalah orang yang dido’akan oleh saudaranya sesama muslim sedangkan dia tidak mengetahuinya, karena Malaikat yang ditugaskan kepada orang yang sedang menguapkan: “Aamiin,” maknanya adalah: “Ya Allah, kabulkanlah do’anya bagi saudaranya.”

Sedangkan yang kedua adalah orang yang mendo’akannya, karena Malaikat yang diutus kepadanya berkata: “Dan engkau pun mendapatkan apa yang didapatkan oleh saudaramu.”

Al-Imam Ibnu Hibban membuat sebuah bab dalam Shahiihnya dengan judul: “Anjuran untuk Memperbanyak Berdo’a kepada Saudara Sesama Muslim Tanpa Sepengetahuan Orang yang Dido’akan, dengan Harapan Permohonan untuk Keduanya Dikabulkan.”

Di dalam Syarh Shahiih Muslim ada sebuah komentar untuk hadits ini, penulis berkata: “Dalam hadits ini ada sebuah keutamaan do’a bagi saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang dido’akannya. Seandainya seseorang berdo’a untuk satu kelompok umat Islam, maka ia akan mendapatkan pahala yang telah ditetapkan, dan seandainya ia berdo’a untuk seluruh kaum muslimin, maka yang aku fahami, ia pun mendapatkan pahala yang telah ditentukan.”

Orang-orang yang gigih dalam mendapatkan shalawat para Malaikat, mereka semua bersemangat dalam mendo’akan saudara-saudara mereka sesama muslim tanpa sepengetahuan saudara yang dido’akannya itu dan hal ini senantiasa ada, alhamdulillaah. 

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Jika generasi Salaf hendak berdo’a untuk dirinya sendiri, mereka juga berdo’a untuk saudaranya sesama muslim dengan do’a tersebut, karena do’a tersebut adalah do’a yang mustajab, dan dia pun akan mendapatkan apa yang didapatkan oleh saudaranya sesama muslim.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji orang-orang mukmin yang telah mendahului mereka, hal ini sebagaimana termaktub di dalam firman-Nya: 

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo’a: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [Al-Hasyr: 10]

Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Alan ash-Shiddiqi mengomentari ayat ini dengan berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji mereka karena do’a-do’a mereka untuk saudara-saudara mereka kaum mukminin yang telah mendahului mereka, pujian tersebut ketika mereka sedang berdo’a.”

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita semua ke dalam golongan mereka dengan karunia dan keuta-tamaan dari-Nya. Aamiin, yaa Dzal Jalaali wal Ikraam.